Selasa, 28 Juni 2011

Setali Tiga Uang

By True Story
Bude saya selalu mengeluh dengan sifat cucu-nya yang keras kepala dan gak mau diatur. Takutnya Cuma sama ayahnya saja yang notabene adalah mantunya. Jadi, kalau disuruh mandi, minum susu, belajar, tidak nonton TV melulu, dll, harus dengan berbagai iming-iming ”Bilangin ke papa loh...”, biasanya kalau sudah ada kata ”Papa” si cucu langsung nurut dengan penuh rasa tertekan dan terkadang tangisan. Dan kalau papanya sudah datang dan menghampiri, tangisan dan tekanan tadi seketika berubah menjadi senyuman.

Sifat keras lainnya adalah sang anak yang selalu tetap (kekeuh) pendiriannya walaupun dia tahu kalo itu salah. Contohnya adalah saat diajak jalan-jalan, sang anak akan tetap ngeyel/ kekeuh misalnya dia ingin main ke suatu tempat. Pernah suatu kali dia diajak ke PIM 2, sang anak maunya bebas jalan ke mana dia suka dan berhenti dimana ia mau, sementara tujuannya selalu berubah ubah (PIM 1 ke PIM 2, begitu pula sebaliknya, terus menerus). Akhirnya sang anak dan mamanya berantem, dan mamanya mengeluarkan maklumat untuk tidak ngajak ke PIM atau jalan-jalan ke mana-mana lagi.

Karena ini, bude saya suka bilang ”setali 3 uang” dengan kakek dan papanya. Katanya sih, sifat keras kepala dan ngeyelnya itu seperti kakeknya, dan sifat gak nurut dan masa bodo nya nurun dari ayahnya. Kata bude saya, sejak bayi cucunya itu sudah nunjukin kekerasan hatinya. Misalnya ketika usianya 1 – 12 bulan, gak mau sabar banget kalau minta susu. Kalo sudah nangis, wajahnya sampai biru dan susah nafas, walaupun sudah diberi 1001 teknik bujukan.

Apa benar pepatah “setali tiga uang” itu berhubungan dengan sifat anak yang turun dari orang tuanya, bahkan garis vertikal keluarga?

Pertanyaan yang menjadi misteri dari kebanyakan orang tua. Bagaimana caranya sebuah sifat menurun dalam keluarga? Yang kita telah ketahui bersama, bahwa sifat genetic dibawa oleh Gen didalam tiap sel di tubuh kita, yang informasi lengkap dan detail mengenai tubuh fisik kita terkandung dalam rangkai DNA (Deoxiribo Nucleid Acid). Tetapi, bagaimanakah dengan sifat? Apakah sifat terkandung pula dalam factor DNA? Jawabannya, ya, secara tidak langsung.

Maksudnya? Begini, kita tahu bahwa semenjak kita masih di kandungan, janin mampu merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya (berdasarkan penelitian dan pembuktian ilmiah), sehingga apapun yang dirasakan ibu yang mengandungnya, dapat dirasakan oleh janin (perubahan emosi merangsang jenis zat kimia berupa hormon atau enzim di otak, yang juga dialirkan ke seluruh tubuh melalui darah, sehingga turut mempengaruhi emosi janin). Sehingga, keadaan emosi sang ibu, baik bahagia, sedih, stress, dll juga secara langsung pasti mempengaruhi sang janin. Kemudian, setelah proses pembentukan otak dan system indra dasar (penglihatan, pendengaran, dll), maka janin mampu menerima rangsangan getaran dan suara dari lingkungan di sekitar ibu yang mengandungnya. Sehingga, ia seolah olah sudah siap menangkap program apapun yang diberikan oleh lingkungan di sekelilingnya.

Coba bayangkan, apabila sang ayah, atau sang kakek, memiliki sifat dan perilaku yang misalnya, keras kepala. Setiap hari, ibu dan janin berada di dalam lingkungan tersebut. Setiap hari pula, sang janin menerima getaran, suara, dan pengaruh lingkungan yang penuh dengan kekeraskepalaan itu. Belum lagi, perasaan sang ibu yang mengandungnya, yang juga pasti berubah-ubah sejalan dengan apa yang menimpanya (termasuk efek dari kekeras kepalaan suaminya..), yang langsung mempengaruhi janin. Ini baru yang terjadi selama proses kehamilan. Belum lagi lingkungan yang mempengaruhi selama anak berumur balita, walaupun ia mungkin , misalnya, belum mengetahui makna, arti, dan maksud dari kata-kata dan pengaruh (baik yang diucapkan ataupun yang dilakukan) dari orang-orang disekelilingnya, tetapi percayalah, bahwa kemampuan seorang anak menyerap informasi, nilai, dan perasaan, sangatlah luar biasa. Hal inilah yang membentuk pola pola dalam otak anak tersebut dari usia yang sangat dini (yang kita kenal dengan istilah ”Pola Pikir”). Pada waktunya (berbeda untuk tiap anak), maka munculah yang kita sebut sebagai ”sifat keturunan” tersebut.

Apa yang sebenarnya terjadi pada si anak? Kenapa dia bisa keras kepala, nggak nurut, ngeyel, dll?

Mengapa si anak keras kepala dan tidak menurut? Mungkin karena perlakuan yang diterimanya dari hari ke hari.. kehidupan yang penuh dengan larangan, tuntutan, dan ancaman. Satu hal yang perlu diketahui dan diingat sebelumnya, ketika seorang anak terlahir ke dunia ini, dia layaknya seperti kertas putih. Kertas yang masih kosong dan dapat diisi dengan berbagai hal, baik yang positif maupun negatif. Orang tua dan lingkungan hanya bertugas mengarahkan bakat dan potensi anak, serta membantu mengisi kertas putih tersebut dengan berbagai hal yang mendukung bakat dan potensinya.

Orang tua dan lingkungan adalah pendukung, bukan yang menentukan ke mana arah si anak akan berjalan. Orang tua dan lingkungan adalah pelindung, yang memastikan bahwa si anak mampu berdiri tegak dan menentukan jalannya sendiri. Jadi, bila seorang anak hidup dengan berbagai macam tuntutan, ancaman, dan bahkan hukuman, pilihannya mudah.. ia akan menjadi anak yang sangat penurut, tetapi mengalami keterkekangan dalam daya kreatifitasnya.. atau ia akan menjadi anak pemberontak, yang kapanpun dapat meledak dan hanya melakukan apa yang ingin dilakukannya (tanpa melihat baik buruk, benar salahnya).

Pertanyaannya, semenjak kapan dan apa yang sebenarnya terjadi di pikirannya? Ketika seorang anak secara berulang-ulang menerima masukan dari lingkungan sekitarnya (orang tua, teman, media, dll), maka pikiran si anak perlahan lahan akan beradaptasi dan membentuk sebuah sistem nilai, beberapa sistem nilai terbentuk untuk skema pertahanan dirinya (self defense mechanism), sebuah mekanisme untuk bertahan terhadap segala sesuatu di luar dirinya yang dianggap sebagai ancaman (seringkali bahkan ini berjalan secara refleks, sehingga si anak sendiri tanpa sadar mengalami perubahan sifat dan perilaku).

Satu hal yang juga perlu diingat, bahwa yang membentuk sifat anak tersebut tidak hanya bentuk komunikasi verbal (ucapan) dari lingkungannya, tetapi juga komunikasi non verbal (bahasa tubuh orang tua, adegan-adegan yang bernuansa negatif di televisi, musik yang didengar, dll), sehingga tidaklah mengherankan ketika seorang anak tiba-tiba memiliki bahasa tubuh yang baru/berbeda, dan itu dapat terjadi dalam waktu cepat (karena kekuatan dari kertas yang masih kosong).

Apa sifat dan kelakuan anak bisa dirubah?

Bisa, sifat dan kelakuan seorang anak bukanlah sesuatu yang mutlak dan tidak dapat diarahkan. Berdasarkan pengalaman dan penelitian, sifat seseorang sebenarnya selalu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan nilai dalam pikiran bawah sadar seseorang menyebabkan perubahan sifat dan perilaku, dimana faktor-faktor terbesar yang menyebabkan perubahan nilai dan pola pikir seseorang antara lain:

ü Lingkungan
ü Pengalaman

Jadi sebenarnya kalau mau mengubah sifat dan kelakuan si anak, ubah nilai yang ada di bawah sadarnya, dengan cara mengubah saja lingkungan dan pengalaman sehari-harinya.. beres kan.. tetapi yang terjadi rata-rata adalah orang di sekitarnya (orang tua, nenek & kakek, dll) memberikan tuntutan (langsung maupun tak langsung) bagi si anak untuk berubah. Terkadang bukan si anak tidak mau berubah, tetapi karena data ”pengalaman” di kepalanya mungkin masih sedikit atau”nilai” yang dia putuskan untuk diambil berbeda (misal: main Playstation lebih menyenangkan dibandingkan membersihkan kamar). Nah, disinilah peran orang tua dan lingkungannya, dimana pola mengasuh anak dengan sistem tekanan dan ancaman bukan lagi solusi. Kalau mau mengubah kelakuan dan sifat si anak, maka orang-tua sebagai aspek lingkungan yang terdekat, juga bersiap-siap untuk mengadaptasi pola mengasuh dengan teknik yang berbeda (bukan berarti yang lama salah, hanya berbeda).

Ada sebuah kata-kata bijak, yaitu ”kalau kita gagal dengan suatu cara, maka cobalah dengan cara yang lain”, yang kalau saya gabungkan dengan kata-kata dari sebuah lagu Michael Jackson (Man in the Mirror), yaitu ”if you want to change the world, you have to start with a man in the mirror” (artinya. Kalau kamu ingin mengubah dunia, maka mulailah dengan bayangan di dalam cermin). Jadi, kalau cara yang biasa belum berhasil mengubah anak kita, maka mungkin kita harus mulai mencoba cara yang berbeda (sekali lagi, bukan berarti cara yang biasanya salah, Cuma butuh sesuatu yang lain), dan perubahan tersebut tidak bisa dipaksakan pada orang lain (dalam kasus ini, anak kita), tetapi perubahan itu dimulai dari diri kita.

SIAP UNTUK BERUBAH?

Kirdi Putra, CHI, CHt.
Professional Personal Coach
(Professional Hypnotherapy, NLP, Spiritual Enhancement Program, etc)
Hypnosis Training Institute of Indonesia (HTII)
Phone. 08561076322
For things to change, I have to change

Tidak ada komentar:

Posting Komentar